Pencuri dan Anjing-Anjing oleh Naguib Mahfouz: Dendam Tak Ada Artinya


Pada tulisan sebelumnya..


Sekitar 2 minggu aku terdampar di negara ini. Bersama seseorang yang kelak katanya setelah keluar dari penjara ia akan melancarkan usaha untuk menuntut balas terhadap orang-orang yang telah mengkhianati dirinya. Sekilas aku meragu sekaligus turut bersimpatik dan merasa iba, ingin tau ceritanya lebih jauh lagi. Kemudian, dengan rasa semangat yang sedikit berlebihan, aku mengikuti perjalanannya, hendak mengetahui kebenaran—apakah betul dia adalah korban fitnah. 

Mula-mula, ceritanya tidak begitu jelas, banyak berita yang nampak kabur, kebenaran masih berusaha disembunyikan. Lambat laun, ia mulai membeberkan bagaimana kisahnya. Ia bercerita tentang bagaimana pertemuan pertama dengan orang-orang terdekatnya, bagaimana ia menjadi pemuda yang sukses, disegani dan dihormati banyak orang hingga tragedi itu menimpa dirinya. Lantas masyarakat pun memandangnya sebelah mata. 


Setengah perjalanan dimulai aku mulai merasa jenuh dan berasumsi kalau orang ini hanya bergurau dan membesar-besarkan masalah. Hingga suatu saat aku bertambah lelah dengan segala tingkah lakunya yang impulsif dan dikuasai dendam. Ia mulai memperlihatkan watak aslinya, seketika hidupnya sedang terancam. 


Kemudian dengan lagaknya yang arogan dan keras kepala ia membiarkan dirinya larut ke dalam amarah bertubi-tubi. Mempersilakan rasa dengki dan dendam yang mulai merambah ke seluruh jiwa dan hati. Dengan percaya diri mengatakan kalau ia adalah korban atas pengkhianatan, ia beranggapan bahwa orang-orang itu pantas mendapatkan hukuman. Ya .. orang-orang tidak tahu diri. 


Apapun dan bagaimanapun caranya


Segala cara akan ia tempuh. Apapun rela ia lakukan asalkan mereka mengaku salah di hadapannya, oh bukan bukan biar aku koreksi maksudku agar mereka segera menghilang dari hadapannya. Perburuan segera dilakukan setelah ia menyusun rencana yang tepat. Namun kurasa dia hanyalah manusia ceroboh nan gegabah. Terkadang aku ketawa mengejek, melihatnya bertindak tanpa pikir panjang terlebih dahulu. Terutama saat ia melakukan rencana pertama, ada cara yang lebih masuk akal jikalau ia masuk tanpa harus menimbulkan keributan di tengah malam. 


Tidak bermaksud mendukung perbuatannya, tapi membaca bagian ini membuatku jengkel. 


Dan semua kekacauan dimulai dari sini. Titik dimana aku sangat capek mengikuti jalan pikirannya. Persis seperti apa yang dirasakan oleh Nur. Apakah ini yang dialami oleh orang-orang yang menyimpan rasa dendam? Padahal ia juga salah, tidak juga benar, setidaknya atas pekerjaan kotor yang pernah ia lakukan sewaktu dulu, sebelum ia dijebloskan ke dalam penjara. 


Nasibnya malah semakin sial. 


Memasuki detik-detik akhir dari perjalanan yang rasanya panjang sekali, aku masih belum ingin menamatkannya. Penasaran—memang, bagaimana kisah ini akan berlabuh.. .kisah dari dendam kesumat yang tak ada habis-habisnya. 


🕮



Akhirnya buku ini berhasil gue selesaikan pada tanggal 8 April 22. Bukunya tipis tapi untuk menamatknya butuh perjuangan mati-matian. Bukan bahasa nya yang sulit dipahami atau masalah terjemahan yang kaku, tapi isi ceritanya yang bikin puyeng hati alias capek perasaanku selama membaca buku ini. Capek dalam artian bagus atau bisa juga buruk, entahlah namun yang pasti buku ini berhasil membuatku lelah........... melihat tingkah laku nya Said Mahran. 


Gue gak akan membahas panjang lebar lagi soal bagaimana cerita nya, sebab jika aku disuruh untuk meringkas buku ini dengan singkat, hanya ada satu kalimat yang dapat mewakili keseluruhan garis besar ceritanya. 


Ya, novel singkat ini bercerita tentang aksi balas dendam seorang laki-laki bernama Said Mahran. Kisahnya dipenuhi dengan rasa dengki, kemarahan, dan dendam kesumat Said terhadap orang-orang yang ia sebut "Anjing-anjing" / para pengkhianat. Hati-nya hanya dikuasai oleh perasaan terpenjara dalam dendam terdalam, seakan-akan si Said emang gak punya tujuan lain setelah keluar dari sel selain menuntut balas perbuatan mereka. Ia menelan mentah-mentah perasaan benci tersebut tanpa memikirkan kembali apa yang akan dipertanggung jawabkan jika nanti berhasil menghabisi orang-orang yang ia sebut pengkhianat. Pokoknya mah Said udah terlanjur benci banget.

 

Bab pembuka dijelaskan penulis dengan tidak adanya narasi yang panjang lebar, melalui sudut pandang orang ketiga pembaca dapat berperan layaknya seperti "saksi mata" atas apa yang telah terjadi pada Said dan bagaimana gejolak perasaan yang digerogoti oleh pahitnya kenyataan hidup. Setelah itu pembaca akan dibawa melancong ke alam bawah sadar pikirannya Said, jangan heran kalau pas baca buku ini kamu bakalan lebih banyak bertemu dengan dialog monolognya Said, ketimbang dialog interaksi antar tokoh. Jadi, selain itu intinya pembaca akan tau seberapa besar pikiran-pikiran sakit, perasaan tertekan, perasaan gelisah, takut dan pergolakan batinnya Said lewat ocehan-ocehan yang ada di dalam pikirannya. 

 

Bagian yang bikin gue capek adalah ketika mengikuti jalan pemikirannya Said yang keras kepala dan dengan kepercayaan diri yang tinggi -- dia menganggap bahwa dirinya adalah korban. Doh, korban pengkhianatan dan? okelah, tapi dari semua alasan yang dia buat itu kesannya malah maksa bahwa satu-satunya korban disini hanya ia seorang, padahal menurut gue harusnya Said bisa segera introspeksi diri atas pekerjaannya di masa lampau—yang sebenernya juga termasuk pekerjaan “kotor”. Bukankah hukuman itu juga diterima karena kesalahannya sendiri? Siapa duluan yang mau jadi muridnya Rauf yang jelas-jelas ajarannya juga memberikan dampak buruk? Masalahnya lagi, jika dilihat dari latar belakang pendidikan, si Said ini punya kemampuan lebih secara intelektual, tapi malah memilih kerjaan yang begitu ya siapa yang mau disalahin—orang dia-nya juga yang memilih jalan seperti itu. Resiko ditanggung masing-masing dong, bang. Pengin gue samperin juga nih si Said. Gini hari jangan terlalu bergantung dan percaya sama rekan sejawat, temen, sahabat, sodara, manusia, sekelompok manusia, dan mereka-mereka yang kita sebut saja dengan penghuni di muka bumi (gemes sendiri, padahal ini semua cuman fiksi! hayo sadar kamu, Ka😂)


Oke oke terlepas dari itu semua, pada awalnya gue pernah menaruh simpati terhadap Said tapi lama kelamaan gue kayak “yaudalah lo balik aja ke penjara sono, emang penjara gak bikin penjahat jadi jera juga ya”. Iya gue kesel banget, baru kali ini kesel beneran sama tokoh fiktif. 


Dan bener aja...pertanyaan gue juga terjawab oleh salah satu tokoh bernama Syekh Al Junaydi. Kalimat ini dilontarkan ketika Said baru aja bebas dari masa tahanannya, 


You have not come out of Jail

Secara fisik Said emang udah keluar dari penjara tapi ia masih terpenjara dengan keadaan emosinya—menyimpan rasa dengki dan dendam — demikian terus memuncak hingga membuat mata dan hati nya “buta” sesaat. Bukannya kapok tapi malah anti kapok ya, bang. Emang kalo udah bawa masalah hati, susah deh sembuhnya. 

Terus.... setelah membaca kalimat diatas gue langsung teringat sama buku Crime and Punishment. Bahwa dari situ gue juga menyimpulkan kalo ditahan dalam penjara belum tentu bikin tahanan jadi jera dan takut dengan hukumannya. Siapa yang tau pas keluar dari sel, besoknya dia langsung beraksi kembali melakukan kejahatan? Ya beda ceritanya kalau di vonis hukuman mati ya. Penjara menjadi tempat “peristirahatan” sementara untuk me-recharge kembali tenaga dan pikiran para tahanan. Yakin cuman buat merenung? Who knowss? di kehidupan nyata juga banyak orang keluar masuk penjara karena gak pernah kapok dihukum. Biasanya disebut "penjahat kambuhan", istilah yang pantas untuk Said. 

Setelah rentetan kejadian yang menimpa Said, sebenernya kasian juga sama dia, lebih tepatnya turut sedih dengan nasibnya hingga buku ini tamat. Kok rasanya sial mulu,cuman udah gak bisa lagi aku bersimpatik padamu. Tapi, disini penulis tidak menciptakan kondisi Said menjadi orang yang berlarut-larut dalam keterpurukan karena kegagalan di masa lalu, dan justru sebaliknya. Dengan wataknya yang kaku, dingin dan agak sinis, penulis membuat karakter Said menjadi tokoh yang pantang menyerah sebelum keadaan bener-bener gak bisa nolong dia.

Harus gue akui, gue salut dengan penulis yang berhasil bikin gue sebagai pembaca dapat merasakan berbagai macam gejolak emosi ketika membaca buku ini. Dari yang iba dan prihatin sampe ke kondisi dimana gue udah terserah aja gimana sama nasibnya Said. Dari yang biasa aja jadi jengkel beneran sama Said, dari yang serius banget sampe ada juga yang bikin gue tertawa getir. Pemilihan sudut pandang orang ketiga sepertinya menjadi pilihan yang sangat pas, karena pembaca bisa melihat dan menilai lebih netral atas kejadian yang dialami oleh tokoh utama. 

Namun sayangnya, ada plothole di beberapa bagian. Seperti; tidak ada cerita utuh dari masa lalu nya Said yang menjelaskan kenapa ia bisa di penjara, selain cerita bahwa dia adalah seorang “penjahat kambuhan", apa yang terjadi dengan keluarganya — istri dan anak. Tiba-tiba pembaca udah dikasih pembuka cerita Said telah keluar dari penjara tanpa aba-aba Said tuh siapa, dia abis ngapain kok bisa dipenjara. Itu semua memang sengaja dilakukan oleh penulis alih-alih memuntahkan semua cerita masa lalu tentang Said, Penulis Naguib Mahfouz memilih untuk menceritakannya satu demi satu. Selipan cerita flashback tidak diceritakan dalam satu bab utuh melainkan tersebar secara terpisah diantara beberapa bab. Tetapi setelah melewati semua ceritanya gue masih merasa kalau potongan-potongan kisah dari peristiwa yang menimpa Said terkesan kabur dan serba nanggung. Rasanya tuh kayak masih ada yang belum beres dan porsi seutuh-utuhnya who is the real Said masih kurang bangettt.


Lalu, kalo ini sih tambahan aja. Seandainya penulis mau menyematkan cerita dari sudut pandang anggota keluarga, mungkin permasalahannya akan lebih jelas. Atau baik juga jika ditambahkan pernyataan kisah langsung dari pihak Ilish, Rauf, Nabawiyya atau orang-orang yang terlibat. Supaya konfliknya terlihat lebih transparan. Sedangkan dalam buku ini ya memang cuman bisa ngikutin ceritanya dari versi Said aja, makanya kenapa gue jadi suudzon mulu sama Said😅


Lalu endingnya gimana? Ya begitulah teman-teman, turut berduka aja pokoknya (loh loh). Gak ada momen bahagia dalam buku ini, dari awal sampe akhir isinya bikin miris hati. Kecuali percakapan yang terjalin antara Said dan Syekh—tokoh paling netral dalam buku. Gak memihak siapapun, gak peduli Said buronan atau bukan, gak terlihat cemas juga padahal satu kota udah heboh banget bikin berita dimana-mana soal kasusnya Said. 



Akhir kata. Terima kasih untuk bapak Naguib Mahfouz, anda berhasil bikin saya ketar-ketir selama membaca kisahnya Said. Bikin saya jadi ngoceh panjang lebar, bahkan setelah saya mengakhiri celotehan ini, masih ada hal-hal yang ingin disampaikan, namun sepertinya cukup disimpan sendiri aja. 


Oke, gue gak tau apakah postingan ini akan gue masukkan ke dalam ulasan atau engga tapi kayaknya begini aja dulu. Sekian dan terima kasih sudah mampir dan membaca unek-unek gak jelas ini ya😁




Selamat menunaikan ibadah puasa! 

Comments

Popular posts from this blog

Perfect Blue (1998): Bukan untuk Sembarang penonton

About my Favorite Webtoon