I Want to Die but I want to Eat Tteokpokki oleh Baek Se Hee


Penulis : Baek Se Hee

Penerbit : Haru Semesta Persada

Cetakan Pertama: Agustus 2019

ISBN : 978-623-7351-03-0

Penerjemah : Hyacinta Louisa

232 halaman

Akses membaca : Buku fisik

Jenis : Nonfiksi – Self Improvement

 

Blurb :

Aku: Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standar dan biasa saja?

Psikiater: Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?

Aku: iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri

 

I want to die but I want to eat tteokpokki adalah esai yang berisi tentang pertanyaan, penilaian, saran, nasihat, dan evaluasi diri yang bertujuan agar pembaca bisa menerima dan mencintai dirinya.

Buku self improvement ini mendapatkan sambutan baik karena pembaca merasakan hal yang sama dengan kisah Baek Se Hee sehingga buku ini mendapatkan predikat Bestseller di Korea Selatan.

 

Kilas balik gue mendapatkan buku ini

Sebelumnya, sekali lagi gue ingin mengucapkan terima kasih banyak untuk kak Jane sebagai teman blogger yang sudah berbaik hati memberikan buku I want to die But I want to eat tteokpokki dengan gratis. Maksudnya gratis, beberapa bulan lalu gue menang giveaway yang sudah diadakan oleh JanexLia lewat akun blog mereka. Lalu, dengan senang hati gue akan mengulas sedikit mengenai buku yang terkait. Walau gak sempurna dan pengetahuan gue soal ilmu kejiwaan masih cetek, maklumi jika kalimat yang nanti disampaikan kurang mendalam, ini murni pendapat pribadi ya teman-teman, dan teori yang akan gue sampaikan sudah berdasarkan teori yang gue contek lewat buku sakti :D

 

Bedanya depresi dan distimia

Sebelum masuk ke sesi ulasan,  gue akan sedikit menjelaskan soal  perbedaan distimia dan depresi. Gangguan depresi adalah gangguan mood yang menyebabkan perasaan depresif dan kehilangan kesenangan secara persisten. Gangguan ini memengaruhi bagaimana kita merasa, berpikir dan bertindak yang dapat mengakibatkan berbagai masalah emosional dan fisik. Keluhan dirasakan dalam durasi lebih dari dua minggu dan menganggu aktivitas sehari-hari.

Sedangkan distimia adalah kriteria diagnosis lain sebagai bentuk kronis dari depresi (gangguan depresi berkepanjangan). Seseorang dapat kehilangan ketertarikan yang normal pada aktivitas sehari-hari. 

Oke, semoga sudah cukup paham.

 

Ulasan isi Buku

Penulis (Baek Se Hee) adalah seorang lulusan dari jurusan sastra yang menempuh karirnya selama 5 tahun di sebuah perusahaan penerbit, Korea Selatan. Sepuluh tahun ia mengidap depresi berkepanjangan / distimia dan gangguan kecemasan. Hal ini yang menyebabkan ia harus menjalani pengobatan di sebuah Rumah sakit.

Buku nonfiksi ini dibuka dengan kata pengantar yang disampaikan oleh dr. Jiemi Ardian,Sp. KJ, yang diberi judul dengan “Definisi dan Pribadi yang mengalami Distimia”. Pembaca akan diberikan terlebih dahulu penjelasan singkat mengenai Distimia. Penjabaran ini ditulis agar para pembaca bisa mengetahui dan memahami bagaimana orang yang mengalami depresi dan distimia, ini merupakan informasi penting untuk pembaca sekalian.  

Selanjutnya kisah penulis dimulai. Ini murni cerita nyata dari penulisnya. Diisi dengan rangkuman esai selama penulis menjalani pengobatan. Walau kisahnya dituliskan berdasarkan isi percakapan selama sesi konseling, di setiap pergantian subbab pembaca akan disuguhi sebuah narasi pendek dari penulis. Narasi tersebut berisi kejadian atau perasaan yang dialami oleh penulis beberapa waktu belakangan. Secara keseluruhan buku ini dibagi menjadi dua bagian: bagian pertama adalah murni berisi percakapan konseling pasien dan psikiater, dan bagian kedua adalah: cerita lepas / narasi dari pasien.

Nah mari kita lihat di bagian pertama, yaitu selama menjalani sesi konseling. Setelah ini gue akan memanggil mba Baek se hee dengan sebutan pasien.

Di dalam bukunya, Baek Se Hee mencatat kurang lebih 4-5 bulan masa pengobatan. Ia memberikan judul berbeda di setiap minggu pada sesi konseling dilakukan. Pada dasarnya permasalahan yang dialami oleh pasien adalah kepercayaan diri yang rendah. Seringkali ia menerangkan bahwa dirinya berada dalam posisi memberi perbandingan antara dirinya dengan orang lain yang dianggapnya memiliki kelebihan (dalam hal; fisik, karir, jabatan, dll). Dan ia kerap kali kesal dengan pemikirannya yang seperti itu, namun di satu sisi ia senang melihat kelebihan dari seseorang yang menurutnya menarik. Pembahasan ini tidak jarang diceritakan oleh pasien terhadap psikiater, misalnya saja soal penampilan fisik ataupun kemampuan akademik dari seseorang yang dikenalnya. Gue akan mengutip satu kalimat yang menurut gue cukup krusial yang dialami oleh pasien.

“segala yang terjadi pada manusia adalah relatif. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang meremehkan saya, sayalah yang paling meremehkan diri saya sendiri.”

Permasalahan yang diceritakan pasien tidak jauh dari permasalahan seputar profesi, kepercayaan diri, hubungan pertemanan, obsesi terhadap penampilan, kecemasan, dan harga diri. Pasien mengalami tekanan-tekanan yang terjadi karena pola pemikirannya yang cukup ekstrem dalam menilai suatu hal. Dalam buku ini cukup dijelaskan bagaimana gejala depresi itu bisa menyerang pasien kapan saja, dan dimana saja. 

Pasien juga menyampaikan bahwa ia terlalu menilai dan memikirkan apa yang orang lain pikirkan, sehingga apa yang ingin ia lakukan menjadi terhambat, atau bahkan ia malah menjauh dan melarikan diri dari apa yang terjadi, dan memusatkan pada pilihan bahwa semua yang terjadi adalah karena dirinya, menyalahkan dirinya sendiri.

Masalah utamanya adalah Logika hitam-putih. Ini menjadi salah satu dari sekian banyak seperti apa pola pikir pada orang yang sedang mengidap depresi dan distimia.

“anda menempatkan diri anda di sudut, lalu mencoba untuk memilih satu di antara dua pilihan, yaitu hitam-putih. Berteman atau tidak. Berteman dengan akrab atau tidak bertemu  sama sekali. Meluapkan isi hati atau menahannya. Anda selalu hanya memberi dua pilihan, ya atau tidak. Tidak ada titik tengah. Selama ini anda menahan diri dan bertahan untuk berteman dengan teman dan itu karena berpikir kalian memiliki hubungan yang khusus. Akhirnya anda pun menjadi lelah karena harus menunjukkan sosok yang bukan diri anda yang sebenarnya.” 

Nah, inti dari sekian penjelasan yang coba gue rangkum, sungguh betapa susahnya merangkum bacaan yang isinya percakapan sesi konseling. Pada intinya, buku ini menjelaskan kisah perjalanan Baek Se Hee yang mengidap gangguan distimia. Esai yang disampaikan seputar apa yang ia rasa, dan ia alami selama masa pengobatan, bagaimana perkembangannya, apakah membaik atau sebaliknya. Bagaimana hubungan pertemanannya, bagaimana cara ia menghadapi situasi sulit dalam depresi, dan hal-hal lain yang  sudah disampaikan penulis lewat tulisannya.

 

Kesan dan Pesan dari Keseluruhan Buku

Kesan pertama. Gue cukup kaget mengetahui isi buku ini adalah murni isian sesi konseling yang dilakukan antara pasien dan psikiater.  Karena sepengetahuan gue, butuh perjanjian khusus (informed consent) antara pasien dengan psikiater agar apakah isi konseling bisa dipublikasikan. Masalahnya buku mengenai hal ini ilang, gue gak nemu dimana buku itu gue taro, yah intinya seperti itu. 

oke yang kedua adalah kesan gue terhadap sosok pasien dan hubungan antara pasien dengan psikiater.

Menurut pada apa yang sudah gue baca melalui buku ini, sosok pasien adalah sosok yang cukup terbuka selama proses konseling berlangsung, ini bisa terbukti di dalam bukunya bahwa ia mampu menceritakan keluh kesah dengan cukup detail, bagaimana perasaannya, apa saja kejadian yang ia alami, dan bagaimana perkembangan mengenai dirinya. Hubungan antara pasien dan psikiater juga jadi faktor penting selama proses konseling, sehingga bisa terjalin pengobatan yang cocok dan nyaman. Terlepas dari ini semua, sebelumnya pasien memang sudah mengunjungi beberapa psikiater yang pada akhirnya ia menemukan dokter yang cocok.

Lalu, kesan gue terhadap keseluruhan isi buku

Terjemahan dari buku ini cukup bagus, tapi yang namanya baca nonfiksi, pembaca punya tugas lebih yaitu memahami betul apa informasi yang terdapat dalam buku. Sekilas, masalah yang dibicarakan pasien kayak remeh, masalah kecil tapi dibesar-besarin, terlalu dipikirin, ehtapi ini yang berpengaruh besar untuk pasien pengidap depresi-distimia dan gangguan kecemasan. Terlalu memikirkan penilaian orang, berprasangka terhadap apa reaksi yang diberikan orang lain, maksud dari orang lain berkata “lo lebih kelihatan imut kalo pake kacamata” dan anggap tidak ada maksud negatif, namun reaksi pengidap depresi- distimia tidak keluar dengan sewajarnya, ia cenderung berprasangka apa yang diucapkan temannya  memiliki maksud buruk. Sehingga pola pikir yang seperti itu yang seringkali menimbulkan kecemasan oleh pasien.

kata-kata yang sebenarnya bukan apa-apa pun terdengar seperti gemuruh di telinga saya.

Ada beberapa bagian menarik dari buku ini yaitu pada bagian Kedua: narasi yang disampaikan penulis. Ia melampirkan beberapa ceritanya dalam bentuk paragraf, seputar bagaimana kisahnya dan perspektif dirinya terhadap segala sesuatu. Cerita hidupnya yang ia torehkan setelah melakukan pengobatan. Penulis merefleksikannya dengan baik, ia dapat berterus terang terhadap apa yang ia alami, ia bahkan menyadari bahwa salah satu kelebihannya adalah “koreksi diri”.

Nah endingnya bagaimana? Belum ada ending, karena buku ini ada kelanjutannya, sudah terbit bulan Juni 2020 lalu. Sebagai gantinya, gue akan mengutip satu kalimat eksekusi dari kisah buku jilid I ini,

mungkin hidup bersama-sama dengan orang lain adalah cara tepat yang bisa memberikan napas lega di tengah dunia yang penuh dengan kegelapan dan kesesakan.

Satu lagi. Gue salut banget dengan penulis, setelah mengalami depresi selama 10 tahun, waktu yang sangat lama, sampai pada akhirnya ia memberanikan diri untuk bisa menerbitkan sebuah buku!!! Dan itu sebuah apresiasi yang keren untuk dirinya. Ahhh rasanya ingin mengobrol langsung dengan penulis.

Pendek kata, buku ini harus dibaca sendiri. Gue pribadi sebetulnya bingung mau membahasnya seperti apa, karena ini berkaitan dengan kejadian nyata yang menyangkut kesehatan mental yang dialami penulis, gue gak mau beropini terlalu banyak. Okeh, untuk siapapun diantara kalian yang ingin tahu seperti apa sih konseling yang dilakukan oleh pasien dengan psikolog / psikiater? Gue merekomendasikan buku I want To Die But I want to eat tteokpokki kepada para pemburu buku nonfiksi.

 

Pesan yang didapat

Gue sedikit banyak belajar dari sosok penulis disini. Bagaimana ia menghadapi konflik internal selama kurang lebih 10 tahun, bukan waktu yang singkat dan kita enggak tahu seperti apa sosok aslinya di kehidupan sehari-hari. Kadang kala, cemas itu perlu, namun bodo amat juga dibutuhkan disaat-saat genting. Sekali saja kita terperangkap dalam pemikiran-pemikiran ekstrem seperti yang dialami penulis diatas, mungkin jalan keluar akan sulit diraih. Ini masalah yang cukup kompleks, gue mungkin bisa berpesan untuk semua / kalian yang sedang mengalami depresi, jika dirasa sudah parah dan tidak bisa menahan diri, salah satu caranya adalah pergi ke rumah sakit dan temui Psikolog. Permasalahan mental yang terjadi pada individu berakar dari “memendam perasaan, emosi terlalu lama, dan dibiarkan begitu saja”. Gue juga banyak belajar kembali soal ilmu kejiwaan disini, bagaimana sikap psikolog saat praktek, apa yang harus dilakukan dan bagaimana menghadapi pasien. Dan hal-hal lain yang berkaitan dengan ilmu Psikologi.  

 

Yup. Gue kira cukup, dirasa ada yang kurang, gue mau membuka opini kalian soal kesehatan mental. Masalah kejiwaan yang seringkali orang berkata “mencari-cari perhatian”, perlu gue ingatkan juga disini, jangan mendiagnosa diri sendiri berdasarkan sumber yang tidak jelas siapa yang menulis dalam artikel, atau apa lah itu yang sejenisnya. Jangan cuma “menebak-nebak” lantas langsung berasumsi “eh kayaknya gue begitu juga deh, eh iya ini mah apa yang gue rasain banget, jangan-jangan gue depresi, jangan-jangan gue juga bipolar, oiya gue itu OCD?  jadi barang-barang di rumah harus begini posisinya dan lain-lain”.

sumpah, gue kesel banget kalo denger orang ngomong kayak gitu.

Lebih baik langsung konsultasikan pada ahlinya saja. Karena gangguan kejiwaan bukan gangguan yang bisa dikasih obat sekali dua kali bisa sembuh, tidak semudah seperti menarik struk dari mesin atm, kawan.

FYI. Semua teori yang gue tulis diatas berdasarkan informasi pada buku nya langsung.  

Oke, sepertinya cukup dulu untuk sesi Bahas buku kali ini. Gue senang sekali akhirnya bisa membuat ulasan kembali, setelah lamanya gue tidak memuat ulasan penuh dari sebuah buku. Semoga ulasannya bisa bermanfaat untuk pembaca, dan siapa yang tertarik untuk membaca buku ini? boleh sharing jawaban kalian di kolom komentar…  

Oiya untuk kalian yang penasaran dengan penulis buku ini, bisa ikuti akun intagramnya di @sentido90

 

Sampai  jumpa di postingan berikutnya!!!!!!!

Comments

  1. Kak Reka, thank you so much udah membuat ulasan ini 🤗
    Aku yang hingga saat ini belum membaca buku ini dan penasaran isinya tentang apa sih, sekarang jadi tahu garis besarnya hahaha.
    Sang penulis benar-benar membuat salut karena keberaniannya mengungkapkan kisah "kelam" hidupnya ya, Kak 😍. Beneran ini sebuah tindakan yang berani untuk membuat buku mengenai kondisi hidupnya dulu, juga tindakan yang tepat karena jadi banyak orang yang lebih mengenal masalah-masalah kejiwaan.
    Kak Reka, setelah membaca buku ini, apakah Kakak jadi tertarik untuk membaca seri ke-2nya? Hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Liaa!
      betul lii, aku membayangkan jika berada di posisinya penulis, entah bisa bertahan atau enggak. Dan juga yang aku tau selama ini soal culture korea yang sedikit tajam soal penampilan, dibuku ini juga dibahas soal itu, kalo kamu ngikutin kpop atau kdrama dan hal-hal berbau korea mungkin bisa paham kearah mana maksud tulisanku ini hehehe.

      iya! saat ia mengidap depresi, dia masih bisa bertahan dan kuat bahkan nerbitin buku, hebat ya Lii. Hm....sepertinya aku tertarik baca bukunya yg kedua, penasaran juga gimana kelanjutan hidup si penulis :D

      Terima kasih juga untuk Lia yang sudah menyempatkan waktu untuk membaca ulasanku ...:'))

      Delete
  2. Waaah thanks Reka untuk reviewnya, sama kayak Lia aku juga penasaran sama buku ini karena hype-nya luar biasa banget! Apalagi ini buku ada 2 seri dan diomongin terus sama banyak orang jadi makin penasaran deh dan aku yang masih sulit baca nonfiksi hahahaha 😆
    Tapi, salut sih sama orang yang bisa melawan depresinya apalagi ini lama banget lho 10 tahun dan bukan menyerah dengan keadaan. Berani juga untuk share ke banyak orang tentang apa yang dia alamin. Tentu bukan hal mudah banget.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mbaTika!

      Bener mbaa, heboh dimana-mana ya, member BTS juga sempat terbawa heboh karena salah satu membernya ada yang membaca buku ini wkwkw.

      aku bisa rekomendasikan buku ini untuk mba Tika yang masih sulit baca nonfiksi, buku nya menarik format desain juga cantik, korea banget gitu mba. Font tulisannya gak bikin mata kelelahan :')

      itu diaa mba, jujur sih aku sampe mikir gimana caranya dia bisa bikin buku sedangkan kondisi mentalnya sedang terombang-ambing, tapi memang dijelaskan kalau penulis menyukai kegiatan menulis dan membaca, jadi mungkin salah satu self healing yang membantu perkembangan masalah yang ia hadapi.

      Yup, terima kasih ya mba Tika sudah meluangkan waktunya untuk membaca ulasanku :'DD

      Delete
  3. Kayaknya aku harus beneran beli buku ini deh kak.

    Aku sendiri pernah mengalami burn out yang beneran parah banget. Aku pernah ada di fase yang beneran bikin aku jungkir balik. I mean, kondisi mental aku. Kadang sempet kepikiran untuk pergi ke konselor. Karena berdamai dengan diri sendiri itu ternyata butuh effort, kak.
    Sampai sekarang, kalau aku lagi stress banget, aku mengalihkannya dengan cara ngblog/nulis. Cukup membantu sejauh ini. Lah kenapa curhat jadinya 😂

    Ah Kak Reka, thank you so much sudah mereview dan ngasih tau kalo buku ini exist.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Syifana!

      Terus, gimana keadaan syifa sekarang? Iya pengalihan melalui nulis blog bisa jadi salah satu caranya ya Syif, tulisanmu bagus-bagus lho kalo aku baca. Bahkan untuk diumur syifa yang masih muda ini, perspektif syifa yang menarik sekaligus berani, You're unique in your way 😊

      Semoga Syifa terus diberi kekuatan dan kelancaran ya!! Dan terima kasih kembali sudah membaca ulasanku :'))

      Delete
  4. Nggak mudah untuk mengobati luka especially menyangkut kesehatan mental, ya mba ~ dan membaca buku ini sedikit banyak cukup memberikan perspektif baru pada saya dalam menilai hidup saya 😆 Sebab, ada banyak ilmu yang bisa saya petik di sana.

    By the way, buku ke duanya sama bagusnya dengan yang pertama, mba Reka 😍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai kak Eno, apa kabar kak? 😆


      Eh kak Eno sudah baca juga toh. Betul kak, kita yang masih dikasih kekuatan ngadepin segala macem, harus banyak bersyukur. Suka sedih aku baca pengalaman hidup orang yang bersangkutan sama masalah mental kak, begitu abstrak, yang mengalaminya aja kadang suka bingung dengan apa yg terjadi sama diri mereka :'(

      Woah kak Eno juga udah baca buku keduanya? 😮 baiklah sptnya aku akan membeli yg kedua hehehe.
      Terima kasih kak Eno sudah meluangkan waktu untuk membaca ulasanku...😊

      Delete
  5. Terima kasih ulasannya, Reka! Lengkap & menarik. Aku jadi penasaran ingin baca buku ini juga. Dilihat dari ulasanmu, sepertinya buku ini adalah buku yang cocok untuk dibaca berdampingan dengan buku Maybe You Should Talk to Someone. Both of them share similarities in some aspects.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mba Farah!

      sebetulnya....aku mendapat banyak inspirasi dari cara mba Farah menulis ulasan buku (hehehe)
      nah, bener mba, setelah baca buku ini aku langsung kepikiran dengan buku itu, yang pernah mba Farah baca. Sepertinya ada kemiripan.

      Terima kasih ya mba Farah sudah meluangkan waktu untuk membaca ulasanku..., kalau ada referensi buku seperti Maybe you should talk to, boleh di sharing infonya mba :D

      Delete
  6. Mba Reka, keren banget ulasannya super lengkaap 😍😍
    Aku baru ngeh ternyata buku ini full non fiksi dan semacam essay ternyata ya. Tau sih awalnya ini buku tentng orang depresi, tapi awalnya aku kira ini novel psikologi gt..
    Banyak yaa yang bisa dipetik dari ceritanya.. Dan aku setuju bgd kalau lebih baik langsung konsultasikan pada ahlinya saja. Karena gangguan kejiwaan bukan gangguan yang sepele..
    terima kasih review nya Mba reka 🤗🤗

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai kak Thessa!

      ehe terima kasih kak, masih banyak belajar mereview buku :D, betul kak full non fiksi, tapi desain buku di dalamnya cukup manis, didominasi dengan warna pink, jadi kesannya gak begitu suram.

      Iya kak banyak yang bisa kita ambil pelajaran dari buku ini, menambah referensi ilmu juga :D
      Terima kasih ya kak Thessa sudah meluangkan waktunya untuk membaca ulasanku..... :'))

      Delete
    2. Sama kayak Mbak Thessa, saya juga mengira buku ini sebuah novel. Tak taunya ternyata buku non fiksi ya, *tepokjidat*.

      Delete
    3. Covernya lucu ya kak? Terlihat seperti novel hohoho tapi nyatanya nonfiksi 😅

      Delete
  7. Ulasannya sangat menarik dan bagus, bukunya juga memang bagus nih buat di baca

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Mayuf!

      Terima kasih sudah meluangkan waktunya untuk membaca ulasan di blog Reka..
      betul, buku yang menarik dan bisa dijadikan pilihan, jika Mayuf mencari buku nonfiksi bertema kesehatan mental ~

      Delete
  8. Horeee udah dibaca selesai dan kusuka sekali dengan review kamu yang detil dan jelas banget, Nis :D

    Waktu pertama kali baca buku ini juga kaget, wah isinya full percakapan antara pasien dengan psikiaternya. Dan aku ikut merasakan 'kelelahan' yang dialami pasien. Apa rasanya ya punya pikiran seperti itu terus-menerus 24 jam dalam kurun waktu bertahun-tahun? 😢 Kadang kita overthinking sehari aja tuh capek banget, apalagi kayak Baek Sae Hee ini ya yang sampai mengalami distimia karena mikirin omongan orang lain terus hiks

    Btw, aku juga saluttt sama penulis yang berhasil mengapresiasi dirinya dengan menelurkan karya ini! Pasti butuh perjuangan banget ya untuk memberanikan diri menceritakan ini semua ke publik.

    So happyyy kalau kamu bisa menikmati buku ini ❤️

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai kak Jane!

      Iya aku gak nyangka juga kalo buku ini bisa sebagus itu, dan alhasil aku pengin bahas kisahnya penulis melalui ulasan, hehe.

      nah bener kata kak Jane, 10 tahun itu kayak apa rasanyaaaa ya kak, iya kita kepikiran satu kendala aja udah bikin kusut muka, dan si penulis punya pemikiran esktrem hampir di segala hal yang ada di kehidupannya, aku sendiri ikutan capek bacanya kak.

      Yey kak Jane, terima kasih kembali sudah meluangkan waktu kakak untuk membaca ulasanku..... :')))

      Delete
  9. Kemarin ikutan juga sayembara ini diblog kak Jane, milihnya buku ini juga karena sudah tertarik las baca tulisan kak Jane soal buku ini. Salah satu yang bikin saya tertarik adalah antitesis dari buku ini. Mulai dari poster dengan isinya, bahkan asumsi saya dengan isinya. Meski belum baca, saya sudah dua kali tertipu. Pertama, saya pikir pembahasan dalam buku ini agak seceria posternya, tapi jata kak Jane isinya cukup gloomy. Kedua, asumsi saya buku ini isinya semacam novel remaja, eh taunya isinya tentang percakapan masa konseling antara pasien dan konselor. Jadi makin tertarik 😬

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Rahul!

      cover buku nya memang bisa menipu para pembaca ya, tapi setelah melihat kalimat pada judul " I want to die..." aku sudah menduga buku ini akan menceritakan sesuatu yang gloomy.

      ah asumsi kita soal novel remaja agak mirip nih, tapi aku gak nyangka kalau buku ini ternyata buku nonfiksi dan cerita nyata dari penulisnya, aku kira tokohnya adalah seseorang yang masih pelajar :D, ternyata bukan.

      Rahul bisa beli buku bekasnya lho kalau memang penasaran sekali dengan buku ini hehehe. oiya terima kasih ya Rahul sudah meluangkan waktu untuk membaca ulasanku...

      Delete
    2. Iya kak Reka, materi promonya memang cukup menipu. Sama kayak orang yang ngga tau Ari Aster mau nonton Midsommar, tapi bekalnya hanya dari poster dan trailer. Pas nonton pasti bakal kaget 😆

      Ya kan? Mungkin bukan cuma saya dan kak Reka saja yang berasumsi bahwa covernya mirip novel remaja. Tapi "i want to die.." ini sukses bikin saya penasaran.

      Terimakasih kembali kak Reka. Saya mau hunting di Toko Buku dulu, siapa tau ada 😄

      Delete
    3. Omong-omong soal Midsommer, aku itu udah ada rencana lama buat nonton film ini tapi selalu keduluan sama film lain. Rahul sudah nonton?

      Tapi emang bener sih, dari yang aku liat potongan adegan filmnya cenderunf aestetik, menunjukkan keindahan gitu ya, tapi justru kebalikannya, dari sebagian orang yang aku dengar ttg film ini mereka bilang ini film horor yang traumatik eheuheu.

      Sip! Semoga Rahul suka dengan bukunya jika jadi membeli..😁👍🏻

      Delete
    4. Saya belum nonton Midsommar meski sudah dihajar beragam spoiler. Alasan saat itu adalah saya ingin menikmati tanpa ada rasa ikut-ikutan hype film itu.

      Sekarang malah nontonnya ngga jadi-jadi. Sekalinya ingat, waktunya yang ngga ada 😆

      Delete
  10. Halo kak Reka!
    sangat menarik akan ulasan buku ini, pada awalnya aku mengira bahwa buku ini adalah buku novel yang judulnya kenapa cukup absurd yaak, kok judulnya galau antara mau mati atau mau makan (?)
    Ternyata, ini bukanlah novel, melainkan buku non fiksi.

    Aku cukup terkejut juga ketika mengetahui bahwa bukuu ini berisi sesi konselor si penulis, dan.. aku jadi sangat tertarik untuk membaca penuh bukunya. Semoga beberapa bulan ke depan bisa beli buku ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai kak Dodo!

      Hahahahah iya betul, awal saya membaca judul bukunya sedikit bingung, adakah momen seseorang saat ingin mati malah memikirkan untuk makan", ini salah satu daya tarik dari kisah penulisnya, tapi selama membaca buku ini saya hanya menemukan satu bagian yang menceritakan soal makan tteokpokkinya, saya agak lupa juga :D

      iya kak, say bisa merekomendasikan buku ini jika tertarik dengan isu kesehatan mental dan ilmu psikologi.
      Terima kasih kak Dodo sudah meluangkan waktu untuk membaca ulasan saya ... dan salam kenal!!

      Delete
  11. Thanks reka ulasannya. Jadi tergambar isi buku ini seperti apa. Judulnya menarik dan gak kebayang kalau isinya lumayan serius.

    Baru dengar juga soal distimia. Kuat banget penulisnya melewati 10 tahun dalam kondisi demikian. Ngebaca ttg tema kesehatan mental dari perspektif penderitanya pasti memberikan nuansa baca yg beda. Terasa lebih dekat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai kak Rizki!

      iya kak topiknya memang serius terlebih lagi diambil dari kisah nyata oleh penulis. tapi terbantu dengan desain dalam bukunya yang cukup manis, walau tidak dengan ceritanya kak :)

      Betul kak, terasa lebih dekat, seakan mendengar ceritanya langsung dengan si penulis.
      Oiya terima kasih kak Rizki sudah meluangkan waktunya untuk membaca ulasanku.. :D

      Delete
  12. Aku sebenernya udah penasaran sama isi buku ini sejak kapan tau tapi mau baca takut ketrigger😅 mba Reka ada niat baca buku keduanya nggak? Anyway thanks for the review.

    Setuju banget untuk nggak self diagnose, lebih baik pergi ke profesional biar nggak salah kaprah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai kak Endah!

      Hmm...iya awalnya aku juga agak ragu sih tapi gara-gara tau ini kisah nyata si penulis aku jadi penasaran lagi, tapi bukunya masih bisa dibaca sih kalopun lagi mood lagi berawan 😅, walau begitu aku gak menyarankan kalo emang lagi gak mau baca yang gloomy gloomy hehehe.

      Rencananya sih ada kak, tapi mungkin nanti entah kapan 😁
      Siap kak endah, terima kasih kembali ya sudah mau meluangkan waktunya untuk membaca ulasanku...

      Delete
  13. Ihhh pengen baca juga.. wkwkwkw masukin list dlu.. Selamat sebelumnya buat giveawaynya..

    Maaf mba Reka aku bacanya agak tak cepet2in biat nggk spoiler dluan.. hehe
    Ini ada seri 2 nya juga.. tadi udh cek di shopee... oke2 ntr nunggu awal bulan buat otw checkout.. hehe

    Makasih Mba Reka.😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haii kak Bayu~

      iya gak apa kak hehehe. Iya ada seri keduanya. Semoga bukunya cocok di kak bayu yaaa, selamat membaca :D

      Delete
  14. Menarik ya bukunya, saya paling suka kisah nyata begini, artinya benar-benar terjadi, bukan hayalan hahaha.

    Rasanya, dewasa ini yang namanya penyuaraan tentang kesehatan mental itu udah makin banyak ya, sedikit demi sedikit, orang-orang mulai berpikiran terbuka atas kesehatan mental, ya semua itu juga bisa jadi karena buku-buku seperti ini, yang akhirnya membuka pola pikir banyak orang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya cerita yang diambil dari kisah nyata memang selalu menarik untuk diikuti ya mba Reey

      Bener kak, dan atas keberanian seperti orang-orang kayak Baek se hee yang akhirnya isu kesmen bisa diketahui publik supaya masyarakat bisa aware dan paham bahwa disekitar kita juga hadir orang-orang seperti penulis Baek se hee..

      Delete
  15. mbakk buku ini aku juga pengen baca dan pengen beli tentunya hehehe
    apalagi buku buku self improvement, haus aja gitu bawaannya.
    akhir akhir ini buku buku bagus lebih banyak buku translate dari korea, judulnya aja kalau ditranslate relate banget sama diriku atau kehidupan sehari hari

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo kak Ainuun👋

      Buku nya bagus kak, kalau kakak sedang mencari buku bertema perkembangan diri, semog bukunya cocok di kak Ainun ya ☺️

      Terima kasih kak sudah berkunjung kemari, salam kenal ya kak :’))

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

About my Favorite Webtoon

Perfect Blue (1998): Bukan untuk Sembarang penonton