Pasung Jiwa Oleh Okky Madasari (Spoiler 🚨)

Penulis : Okky Madasari  
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama 
Cetakan Kedua : Oktober 2015
ISBN : 978-602-03-2220-9
328 halaman


Blurb :
Akankah kehendak bebas benar-benar ada? Apakah manusia bebas benar-benar ada? Okky madasari mengemukakan pertanyaan-pertanyaan besar dari manusia dan kemanusiaan dalam novel ini.
Melalui dua tokoh utama, Sasana dan Jaka Wani dihadirkan pergulatan manusia dalam mencari kebebasan dan melepaskan diri dari segala kungkungan. Mulai dari kungkungan tubuh dan pikiran, kungkungan tradisi dan keluarga, kungkungan norma dan agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu kekuasaan.


Hati-hati tulisan ini berisi  s p o i l e r

***    

Bukan kali pertama saya membaca karya Okky Madasari, 2 buku yang sebelumnya pernah saya baca yaitu Kerumunan Terakhir & Yang bertahan dan Binasa Perlahan (kumpulan cerita) nyaris selalu membuat saya menyukai gaya penuturan tulisan Okky Madasari yang mengalir apa adanya. Pertama kali saya membaca kumcer yang ditulisnya dalam Buku Yang bertahan dan Binasa perlahan mendapati bahwa saya langsung menyukai poin yang diceritakan, makna dan gaya penulisannya. Begitu juga dengan Pasung Jiwa.

Sasana, sang tokoh utama merupakan anak dari keluarga mapan yang kedua orang tuanya bekerja sebagai pengacara dan dokter bedah. Saat sejak dalam rahim, Sasana sudah diperdengarkan alunan nada dari alat musik Piano yang dimainkan oleh ibunya, ia menyukai dan terbuai dengan nada-nada merdu, tapi tak lama. Begitu dilahirkan, Sasana tak menyukai lagi bunyi piano yang selalu menemaninya sampai tertidur pulas dikala dalam rahim. Ayah dan Ibunya, semenjak ia dilahirkan selalu mengenalkan Sasana pada piano, piano dan piano.

Bertambah umur keterampilan Sasana terhadap piano semakin mahir dan sering tampil sana sini. Sasana hanya melakukan semua itu demi menuruti kemauan dan “tradisi” keluarganya pada piano. Ia tidak bertahan, ia tidak menyukainya, Sasana tidak menikmati sedikitpun dari indahnya bermain bersama dentingan nada piano. Sasana menganggap bahwa dia telah terkurung, terkurung dalam tingginya tumpukkan kemauan kedua orang tuanya, dan ia hanya mematuhi lalu bermain piano dengan rasa hadir yang terpaksa.

Hingga pada suatu saat, di dalam momen yang tidak sengaja Sasana menemukan kenikmatan yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya saat bermain Piano, yaitu musik dangdut. Ya, ia merasa bebas dan seperti melayang saat mendengar dentuman ayu-nya musik dangdut. Tetapi, ketertarikannya pada dangdut tidak dibiarkan lolos oleh kedua orang tuanya, hingga ia mendapat teguran keras berkali-kali saat didapati tengah menikmati musik itu di dalam kamarnya.

Bukan hanya soal ketertarikan Sasana pada musik dangdut, ia memiliki adik perempuan yang sangat ia sayangi, dan kagumi sekaligus iri. Perjalanan sasana dalam mencari apa itu kebebasan juga terpaut oleh adiknya, Melati. Ia menganggap sungguh beruntungnya menjadi Melati, ia lebih banyak tersenyum dan tertawa di masa-masanya, dibandingkan dirinya- Sasana. Saat memasuki SMA pesantren ,ia di bully oleh senior di sekolahnya, begitu berlanjut terus selama beberapa waktu, dan di saat bersamaan ia menyadari bahwa betapa bencinya ia terhadap laki-laki yang dalam diri mereka hanya penuh dengan kekerasan, ia benci laki-laki dan membenci dirinya sebagai laki-laki.

Bagi sekolah ini, keributan, perkelahian, penganiayaan adalah urusan kecil remaja laki-laki yang bisa diselesaikan. Aku pun jadi membenci laki-laki. Membenci diriku sendiri yang menjadi bagian laki-laki. Jika aku bukan laki-laki, aku tak akan masuk sekolah ini. (hlm. 35)

Perjalanan Sasana berlanjut saat ia pergi ke Malang untuk melengkapi jenjang pendidikannya, yaitu S1. Sampai dimana ia bertemu dengan Cak Jek, laki-laki yang mahir bermain gitar dan penikmat musik dangdut. Dari situ, Sasana semakin akrab dan betah berteman dengan Cak Jek. Sasana bukan hanya mahir bernyanyi tapi terampil dalam bergoyang jika bersama musik dangdut, sehingga Cak Jek mengajaknya ngamen bersama. Sampai-sampai kuliahnya ia tinggalkan, semua ia serahkan demi kebebasannya, yang penting masih bisa bergoyang dengan musik dangdut.  

Tak hanya itu, karena Sasana semakin dikenal di daerah mereka nongkrong dan cari uang, Cak Jek berinisiatif dengan idenya agar Sasana tampil dengan dandanan perempuan seksi untuk memikat warga yang mau menonton. Caranya yang terbilang cukup sukses hingga membuat mereka bisa pentas di beberapa daerah. Tidak hanya perubahan tampilan saja, Sasana merubah namanya menjadi Sasa. Sasa yang sangat menikmati profesinya saat itu. Sasa yang punya kebebasan. Sasa yang menikmati goyangan dan kebebasannya.

Berbagai pengalaman mereka temui sebagai pengamen, hingga pada suatu hari terjadi tragedi yang membuat mereka kehilangan harapan dan cita-cita bersama. Setelah kejadian itu, Sasana dan Cak Jek berpisah. Mereka tidak lagi hidup bersama, mereka menjalani hidup dan memupuk harapannya masing-masing. Tentu saja itu semua tidak langsung berjalan lancar seperti yang dibayangkan Sasana maupun Cak Jek. Mereka di halangi paku – paku dan peluru tajam yang selalu siap menembak pikiran dan jiwa mereka. Mulai dari Sasana dan Cak jek yang ingin merebut kebebasan yang dirampas oleh pihak yang tidak bertanggung jawab lalu mereka di kurung selama beberapa waktu dan lepas kembali tanpa jaminan kehidupan. 

Terlepas bukan berarti benar-benar bebas, pergolakan hidup mereka tetap berlanjut pada Sasana yang harus di rawat di rumah sakit Jiwa, dan lagi terjadi ia terkurung di dalam tempat yang sama sekali tidak ia inginkan. Saat disana ia bertemu dengan 2 orang yang menurut Sasana, ia dapat mengungkapkan apa yang ia rasa, yaitu Banua dan Masita. Banua adalah pasien di RSJ, dan Masita adalah dokter yang sedang meneliti di Rumah Sakit tersebut.

“pikiranku sudah mati rasa. Cuma ikut saja pada apa yang dianggap sudah seharusnya” (Banua -hlm.137).  Bagus sekali kalimatnya. Kalimat dari mulut yang sudah lama diperkosa untuk hanya mengatakan apa yang dianggap layak bagi mulut Banua.

“ban..ban..kamu malah membuatku sadar,kita semuanya sedang terpenjara. Terpenjara aturan. Disini kita bisa membebaskan tubuh kita,karena kita sedang gila. Tapi itu pun tak mampu membebaskan pikrian kita. buktinya, kamu masih gelisah kayak gini, kan?” (Sasana - hlm. 139)

Dan lagi saat-saat dimana Sasana dan Masita memiliki percakapan yang mendalam diantara mereka. Saat Sasana mengetahui bahwa ia adalah objek penelitian Masita, dan ia bertanya padanya tentang bagaimana orang-orang di dalam RSJ.

“tidak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus di keluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda”. (Masita -hlm. 146)

Sejak saat itu Sasana semakin nyaman berbicara dengan Masita. Masita yang awalnya ia anggap sama dengan peneliti umumnya, tapi ia berbeda.

Masita melihat dari mata kami- Sasana

Lalu bagaimana dengan Cak jek? Cak Jek yang melanjutkan hidupnya sebagai buruh pabrik elektronik, dan tentu saja itu adalah pekerjaan yang dianggapnya seperti robot. Setiap hari ia hanya harus mengelap ratusan kaca untuk dipasang dalam TV, setiap harinya tanpa harus berpikir sedetikpun. Cak Jek jenuh dan semakin jenuh dengan amarah saat ia mengetahui terdapat perlakuan tidak adil dari perusahaannya itu terhadap beberapa karyawan dan dirinya sendiri. Perlakuan tidak wajar, melecehkan, dan tidak bertanggung jawab. Lantas ia merencanakan aksi demo dan mogok kerja, sesaat setelah ia menyadari bahwa rencananya itu nyaris ketahuan dan gagal dan malahan ia yang mendapati masalah lebih besar, di kejar-kejar aparat dan melarat dalam kemiskinan.

Last but not the last. Perjuangan mencari arti kebebasan dan sumber kebebasan yang digambarkan oleh Okky Madasari melalui 2 tokoh utama, Sasana dan Cak Jek alias Jaka memberikan banyak pengaruh dalam karakter masing-masing tokoh. Sasana yang membenci dirinya yang sebagai laki-laki menemukan kebebasannya saat ia menjadi Sasa tapi ia tak sepenuhnya bebas, tidak dengan pikirannya. Yang kemudian selalu diikuti rasa bersalah pada orang tua dan adiknya. Ia menganggap bahwa dirinya adalah terlahir dengan segala perangkap. Dimulai saat ia lahir dengan keterpaksaannya terhadap tradisi keluarganya pada kesempurnaan, terkurung dalam kekerasan yang ia alami saat SMA hingga menimbulkan kebencian terhadap dirinya sendiri sebagai laki-laki, sampai ia dewasa saat menemukan Sasa dalam dirinya, ia masih terperangkap dan belum terbebas.

“seluruh hidupku adalah perangkap. Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orang tuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengurungku menjadi tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku”. (Sasana - hlm.293)

*** 

Wah pegel bok. Baru kali ini saya menulis review sampai lancar begini dan sampe 6 halaman. Ini juga berkat cerita yang di tuangkan kak Okky Madasari di setiap bab nya. Saya harus bilang, banyak banget hal-hal yang ingin saya tumpahkan di dalam review kali ini, tapi sepertinya tidak mungkin, yang ada saya malah nulis ulang apa yang udah ditulis sama kak Okky. 

Selain 2 tokoh utama diatas, ada tokoh-tokoh lain yang saya sukai seperti Masita, ia pemeran wanita yang jujur dan berani. Saya banyak mendapat catatan kecil selama membaca novel Pasung Jiwa, termasuk ocehan Banua yang dianggap sinting oleh Sasana. Lalu cara kerja otak dari Cak Jek yang selalu ingin menjadi Seniman Profesional dan gaya berbicaranya yang seperti sok tahu, kemudian juga ada Ibunya Sasana yang saya kira ia tidak akan mendukung Sasana sampai akhir #nospoiler oke, dan tentunya berbagai peristiwa yang telah dialami oleh para tokoh didalamnya.

Ketiadakadilan, kekerasan, hilangnya tanggung jawab. Apa kemanusiaan itu sendiri? Apa kebebasan itu sendiri? Novel ini ingin mengetuk kita jauh kedalam peristiwa yang terjadi di sekitar bahkan mungkin sebelum kita lahir atau baru saja dilahirkan. Isu yang ditampilkan dalam novel Pasung Jiwa bersinggungan dengan isu kemanusiaan, sistem sosial, ekonomi, dan politik. Bagaimana mereka, masyarakat yang setengah mati berjuang melawan ketidakadilan, mencari kebebasan dan kemanusiaan yang seringkali hilang saat zona nyaman mereka yang berstrata tinggi diusik.  

Diakhir ceritanya,saya sedikit kecewa tapi saya suka dengan endingnya dimana kedua tokoh bisa benar-benar merasakan kebebasan dalam versi mereka. Bebas dari kungkungan, dari jeratan dan itu semua memang memungkinkan, jika benar terjadi.

Reasons Why do I like To Read this Book!?

Ada  2 hal yang membuat saya suka dengan novel ini. Pertama, adalah bagaimana Konflik yang dialami Sasana dan Cak Jek benar-benar menguasai pikiran saya saat membaca dan saya menikmatinya, karena tidak semua novel yang saya baca dapat saya nikmati dengan benar dan serius. Saya kian berkhayal, mungkin yang seperti Sasana ini ada di kejadian nyata, terlebih apalagi yang dialami oleh Jaka Wani, persoalan hidupnya pasti masih banyak kita temukan, tak terhalang jika sekarang adalah era digital yang semuanya semakin mudah dijangkau. Apa benar? Benarkah rakyat sudah menikmati dan tentram dengan kondisi Negara kita saat ini dengan yang katanya “sudah tidak ada yang tidak bisa kita lakukan dengan adanya internet dan teknologi, semua praktis”, hm saya malah tambah tidak yakin. Oh kok malah ngelantur.

Lalu yang kedua. Gaya Penulisan kak Okky yang sangat sangat nikmat dibaca. Saya suka dengan penulis yang gaya menulisnya tidak bertele-tele, lugas, detail dan khas dalam menggambarkan karakter. Karakter Melati yang hanya sedikit mendapat tempat, tapi saya bisa membayangkan dengan jelas seperti apa melati yang sangat di sayangi oleh Sasana, adik yang sangat menyayangi kakaknya apapun yang terjadi, ia digambarkan seperti tokoh Masita.  

Terlepas dari cerita, ada kekesalan yang sering terlintas saat saya tahu bahwa Sasana nyaman dengan profesinya di Malang. Saya kesal “kenapa mesti dandan ala perempuan, dan bahkan dia menikmati itu”. imajinasi saya tidak bisa berhenti bermain saat membaca lalu terbayang Sasana sosok laki-laki yang gemulai dalam goyangannya lalu berdandan menor ala pedangdut wanita, saya agak geram. Tapi, mau diapain? Itulah yang menjadi keseruannya, walaupun begitu tapi Sasana masih normal dan tetap menyukai Wanita (saya kasih sedikit bocoran), walau saya sedikit risih saat Sasana selalu menyalahkan dirinya sebagai laki-laki. 

Intinya. Jujur, banyak sekali yang ingin saya ceritakan, kalau ada teman ingin berbagi kesan dari novel ini disini, di blog saya. HI, OKE LET’S TALK! Dan terakhir, Buat kalian yang suka baca novel bertema seputar sisi pahit dan manis kehidupan, mempertanyakan kemanusiaan, dan sistem sosial, wajib baca karya-karyanya Okky Madasari!

Comments

  1. wah iyaaaa pada banyak yg review bukunya mbak okky, tp blm pernah baca satupun hehe should i try this one?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba baca kumcernya aja dulu kak, siapa tau jadi suka 😊 di aplikasi ipusnas lumayan lengkap loh

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

About my Favorite Webtoon

Perfect Blue (1998): Bukan untuk Sembarang penonton